Sepucuk Makna (Part 1)

[1]

“Baik, kamu akan saya berikan tugas,” ujar Bos pemilik agen sembako terbesar di kota tersebut.

“Baik pak, nanti saya bertugas bersama siapa saja?” tanya Henru.

“Oiya, nanti kamu bersama Jabar ya.”

“Apakah bapak yakin? Dia saat ini sedang sibuk bersama bagiannya menjadi kepala gudang,” ucap Henru

“Soal itu, nanti akan diurus oleh saya langsung terkait pendataan barang-barang yang ada di gudang. Kamu nanti sama Jabar saja,” kata bosnya.

“Siap Pak, kapan sembako tersebut akan kami kirim?” tanya Henru

“Dua hari lagi karena ada hal yang spesial untuk dia,” ujar bosnya.

“Spesial? Memang barang yang akan dikirimkan ini untuk siapa?” Henru sangat penasaran dengan barang yang akan dia berikan dari perintah bosnya.

“Nanti kamu akan tahu, intinya ikuti saja perintah dari saya.” Bosnya sambil mengetik di komputernya. “Baik Henru, kamu boleh pergi.”

Henru keluar dari ruangan bosnya. Dia bingung karena perintah bosnya tersebut, dia tidak mengetahui kepada siapa barang tersebut akan diberikan. Saat ini dia sedang berada di depan ruang tunggu beralaskan karpet dan terdapat sofa di ruang 2x2 tersebut. Henru lalu duduk sebentar sambil berpikir apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dia mengambil telepon genggam di saku celananya dan mencari kontak yang ingin dia telepon, menekan salah satu kontak temannya.

Assalamu’alaikum, Halo Bar, di mana kamu sekarang?”

Wa’alaikumussalam, aku sekarang lagi di gudang toko nih. Tiba-tiba banyak barang masuk. Ada apa Hen?”

“Ini loh Bar, kamu sudah dipanggil sama Bos belum? terkait dengan pengiriman barang?”

“Oh itu, kemarin aku sudah bertemu Bos, katanya jangan kasih tahu ke kamu dulu, ya sudah aku diam saja, padahal setelah itu aku ingin langsung beritahu kamu loh.”

“Yoweslah, siap berarti kamu sudah dapat perintah dari Bos ya? Nanti aku akan menemui kamu ya Bar.”

“Siap, kamu nanti ke toko kan?” tanya Jabar.

“Nanti sore aku akan ke sana,” jawab Henru.

Henru kembali menaruh telepon genggamnya di sakunya. “Pagi buta seperti ini, sudah harus ke rumah Bos.” Lalu Henru melihat jam tangannya. “Masih jam delapan. Kebetulan sekali barang-barang yang dipesan Jabar datang sepagi ini ya.” Henru langsung meninggalkan rumah bosnya yang tampak mewah namun berarsitektur sederhana. Bosnya memang memiliki banyak cabang toko di beberapa kota dan Henru bekerja di toko pertama yang dibangun bosnya tersebut. Sudah lama sekali Henru bekerja di sini dan dia sangat menikmati pekerjaannya sebagai kepala pengelola keuangan perusahaan sembako tersebut. Bosnya sangat percaya kepada Henru.

Henru tiba di rumahnya yang sederhana, rumahnya serba coklat, warna pagarnya, atapnya, hingga dinding bagian teras pun coklat tanpa campuran warna apa pun. Dia memarkirkan motornya di depan teras dan menutup pagarnya. Istrinya langsung menyambut suaminya yang pagi-pagi sudah harus pergi ke rumah bosnya.

Alhamdulillah, kamu pulang tidak lama-lama. Nanti Bos bakal kasihan kalau kamu lama-lama di sana, toh mandi saja juga belum. Saat aku bangun kamu sudah tidak ada di rumah,” ujar istrinya.
Henru langsung duduk di kursi kayu terasnya. “Maaf ya sayang, aku tidak pamitan dulu sama kamu. Tadi pagi buta aku masih pulas tidur telepon berdering. Bos memintaku untuk segera ke rumahnya sekarang juga. Ya sudah aku langsung salat dan ke rumah Bos,” kata Henru.

“Tapi kamu belum minum kopi dulu kan? Ya sudah sekarang langsung mandi, Bau suamiku.” Istrinya tertawa.


[2]
Henru langsung duduk di meja makannya, sembari melahap sarapan buatan istrinya. Terhidangkan ayam goreng, tempe orek, dan sayur sup di meja makan. Henru tanpa bercakap panjang langsung makan karena waktu sudah jam 9.30, dia harus pergi ke toko.

Bye, bye my honey. Aku kerja dulu ya.” Kata Henru.

“Oke sayang. Kamu sudah telat sebenarnya, seharusnya kamu jalan jam 07.30 dari rumah,” jawab istrinya.

Istrinya langsung menghampiri Henru dan memberikan kotak makan kesukaannya. “Ini bekal makan siang biar suamiku tidak boros-boros.”

“Makasih sayang, ya sudah aku berangkat dulu ya.” Henru langsung mencium kening istrinya. “Assalamu’alaikum.”


[3]
Toko sembako yang dikelola oleh Bosnya memang menuai kesuksesan yang luar biasa. Ia memiliki lima cabang yang tersebar di seluruh kota. Setiap kecamatan pasti ada toko sembako “Mutazambi” yang terlihat lebih mirip sebagai toko swalayan. Tetap saja, pemilik Mutazambi lebih ingin dipanggil perusahaannya sebagai toko sembako daripada toko swalayan. Henru sampai ke tempat kerja pukul sepuluh, di sana sudah banyak pembeli yang datang atau keluar toko dengan menenteng totebag. Di pintu masuk tertulis “Bawa tas belanja masing-masing jika anda peduli dengan bumi” dengan ukuran besar. Memang di tokonya, setiap pembeli disarankan untuk membawa tas belanja masing-masing daripada harus membeli plastik yang tersedia di toko sebagai langkah dalam menghemat pengeluaran plastik dan peduli terhadap lingkungan. Memang kebijakan yang diterapkan tidaklah begitu besar artinya, tetapi bukankah sebuah langkah kecil seperti membawa tas belanja menjadi bermakna apabila diterapkan secara konsisten. Itulah yang selalu bosnya katakan kepada para manajer dari masing-masing toko cabang, termasuk kepada Henru yang bisa dikatakan sebagai tangan kanan bosnya.

Henru masuk ke dalam toko dan menuju ke ruangannya, di atas meja banyak sekali tumpukkan kertas yang tidak beraturan. Dilihat-lihat oleh Henru, laporan belanja atau pun perhitungan kas toko yang sudah dicap banyak berserakkan di atas mejanya, seharusnya Henru bisa membuang kertas tersebut, tetapi ia begitu menyayangkan laporan-laporan tersebut lalu merapihkan dan menyimpannya di file “Laporan Keuangan Belanja Toko Mutazambi”. Setelah selesai menyusun mejanya agar rapih tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu.

“Permisi Pak Henru, berikut adalah nota pemasukkan barang dari kiriman pagi tadi,” kata orang yang menjadi asistennya Jabar di bagian gudang.

Henru dengan teliti membaca notanya, “Baik, Terima kasih.” Sebelum orang tersebut keluar, Henru mengatakan, “Oh iya, tolong sampaikan kepada Jabar kalau sebentar lagi saya akan pergi menemuinya di gudang.”

“Baik pak.” Orang tersebut dengan sopan pergi meninggalkan ruangan yang bertuliskan “Ruang Kepala Keuangan” di depan pintu kaca.

Tiga puluh menit kemudian, Henru pergi ke ruang gudang. Di sana ia langsung menuju meja kerja dari Jabar, “Assalamu’alaikum”.

Wa’alaikumussalam, tadi notannya sudah diantarkan oleh asistenku ya. Bagaimana kabar pagi tadi?” tanya Jabar.

“Seperti itulah, Bar. Tadi pagi aku terburu-buru ke rumah Bos sampai aku lupa memakai kemeja, pertama kalinya aku bertemu Bos dalam tampilan seperti itu.”

Jabar tertawa, “Lain kali, kalau Bos tiba-tiba memanggil kamu tidak usah terburu-buru, santai saja. Kamu ditegur tidak?”

“Untungnya, Bos tidak memedulikan penampilanku. Pertama kalinya Bos minta bertemu pagi buta,” jawab Henru.

“Sebenarnya Bos itu selalu bawa santai saja Hen, tetapi kita-kita aja semuanya yang terlalu serius dalam menyikapi maksud si Bos. Pastinya kamu kaget Hen.” Jabar tersenyum.

Henru tiba-tiba terpikiran untuk bertanya maksud Bos memanggilnya, “Oh iya Bar, maksud si Bos tadi pagi manggilku kenapa ya? Kamu tahu tidak?”

Jabar langsung kaget dan meminta Henru langsung menutup mulutnya, “Ssssttt, jangan keras-keras nanti yang lain tahu.”

“Eh memangnya mengapa kalau semuanya tahu?” Henru bingung.

“Sebenarnya, itu adalah kerahasiaan yang Bos berikan kepada kita, Hen. Lebih baik kita bicarakan di ruanganku saja.”

Mereka berdua langsung menuju ruangan si Jabar.

“Memangnya ada apa Bar?” tanya Henru.

“Sebenarnya aku juga tidak tahu persis sih, tetapi tadi pagi tiba-tiba ada kiriman barang yang datang, aku merasa tidak pesan. Setelah aku lihat-lihat sepertinya ini bukan untuk dijual.”

“Jadi menurutmu barang tersebut untuk diapakan?”

Jabar terlihat bingung, “Aku belum bertanya langsung kepada Bos, mungkin saja barang itu untuk disimpan lama terlebih dahulu.” Jabar mulai menduga-duga barang yang datang tadi pagi.

“Aku tadi juga memeriksa setiap barangnya, tetapi aku tidak memerhatikan tujuan barang itu dikirimkan karena aku pikir ya kamu yang memesan,” kata Henru.

Mereka berdua mendapatkan pesan masuk dari Bos,

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Dimohon pada jam 20.00 WIB agar menemui saya di rumah. Mohon untuk tidak memberitahu pesan ini kepada siapa pun. Terima kasih, sampai bertemu nanti malam.

Henru mengatakan, “Itu dari Bos?”

“Benar, hmm akan ada hal seperti apa ya yang ingin Bos rencanakan.” Jabar berpikir.

“Ya sudah pokoknya apa yang dikatakan Bos dalam pesantersebut kita harus turuti. Kalau begitu aku pamit ya, mau ke ruangan ku. Di sini terlalu gelap.” Kata Henru.

“Seperti inilah ruangan gudang, tidak seperti kamu yang ruangannya selalu berwangian uang.” Jabar menimpal.

Assalamu’alaikum.” Henru mengacapkan salam dan langsung pergi.


 [4]
Tidak seperti biasanya, Henru meninggalkan toko sekitar jam 17.30, tetapi toko “Mutazambi” baru tutup di malam hari jam 20.00 WIB. Pekerjaan yang cukup melelahkan untuk seorang Henru yang harus mengelola keuangan toko ketika dia bekerja penuh dari pagi hingga malam. Kali ini dia mendapatkan izin oleh bosnya untuk meninggakan toko lebih awal. Pemeriksaan dan pencatatan keuangan toko hari itu diserahkan kepada asisten Henru.

Setiap pulang ke rumah, Henru selalu membawa makanan atau minuman untuk keluarganya karena Henru berpikir itulah yang menjadi kebahagiaan di keluarganya ketika ia pulang ke rumah. Jalanan kota begitu padat tetapi ia dengan gesit mengendarai si roda duanya tersebut. Petang yang begitu berbeda karena ia bisa pulang lebih cepat, sesampainya di depan rumah ia langsung disambut oleh anak-anaknya.

“Hore, papah pulang cepat.” Kata kedua anaknya.

Henru memarkirkan motornya, lalu ingin memeluk anaknya tetapi mereka tidak ingin dipeluk.

“Ih, papah bau habis pulang kerja.” Kata anak pertamanya.

Henru spontan langsung mencium pakaiannya dan benar pakaiannya sangat bau, Henru langsung memberikan makanan yang dia beli tadi. “Ini dia martabak kesukaan Mais.”

Mais begitu gembira, “Wah, makasih, Pah. Ini kesukaan Mais, martabak coklat keju.”

Henru langsung bertanya kepada Emer sambil berjalan ke dalam, “Gimana tadi belajarnya Mer?”

Alhamdulillah, Pah, tadi aku habis ulangan IPA,” jawab si anak pertama.

“Bagus, kamu harus bisa mengikuti pelajaran di sekolah.” Henru tersenyum.

Istrinya datang menemui Henru, “Gimana pah hari ini kerjanya? Tumben kamu pulang cepat”

“Lancar Mah, aku nanti malam disuruh ke rumah Bos. Jadi dia mengizinkan aku pulang lebih awal,” jawab Henru.

Henru langsung bersih-bersih dan persiapan salat maghrib, jarak rumah dengan masjid tidak begitu jauh, jalan dua menit langsung sampai. Henru selalu mengajak anaknya yang pertama, Emer untuk ikut berjamaah di masjid setiap kali azan berkumandang. Lagipula, Emer memang selalu ikut pengajian di masjidnya setiap sore jadi banyak temannya juga yang melaksanakan salat di masjid secara berjamaah. 

Waktu menunjukkan jam 18.30 WIB, Henru bersama keluarganya menikmati makan malam yang dimasak oleh istrinya. Mereka begitu hangat karena Henru sudah wangi ketika itu, biasanya mereka selalu makan malam di saat Henru masih memiliki bau badan setelah pulang kerja.

“Ya sudah Mah, aku berangkat dulu ya.” Henru mencium anak-anaknya.

“Papah mau ke mana malam-malam?” kata Mais.

“Hehehe, Papah mau ke rumah Bos dulu, Is. Ada urusan.” Henru memeringatkan kepada Mais. “Ingat, kamu tidak boleh tidur malam-malam besok sekolah.”.

“Siap Pah, hati-hati ya di jalan.” Istrinya tersenyum.

Henru lalu pergi untuk bertemu bosnya.

BERSAMBUNG....

---
Penulis: Ferdiansyah

Comments

Popular Posts