Berkenalanlah, Lalu Merindu

Dalam hidup seseorang pasti akan bertemu setokoh yang dikagumi. Tokoh ini kita sebut sebagai idola. Sejak kecil, mungkin kita pun akrab dengan pertanyaan, “Siapa tokoh idolamu?” Atau nggak usah jauh-jauh, kalau lagi nonton Power Ranger, kita berebut buat pengin jadi ranger merah. 

Kita, sejak kecil, mengidolakan tokoh-tokoh tertentu.

Tokoh itu, dalam pandangan kita, punya daya tarik tersendiri. Kita, tertarik untuk menirukan orang-orang hebat itu—setidaknya hebat dalam pandangan kita. 

Semenjak menyukai sesosok tokoh, saya jadi serba mengikuti kabar terbaru dari tokoh tersebut. Misal, sebutlah salah satu band pop punk tanah air. Setiap band itu merilis lagu baru, saya bakal setia denger lagu itu sampai bosan. Pelan-pelan saya mulai mengikuti apa saja; gaya rambutnya, gaya bicaranya, sampai gestur tubuhnya saat tampil. 

Band favorit saya punya haters di mana-mana. Termasuk teman sekelas saya. Setiap kali ada teman saya tahu saya lagi dengar lagu band favorit, mereka nggak suka. Akhirnya terjadilah adu mulut, berantem, dan terus-terusan membela: “Kerenan juga band jagoan gue!” Kita bakal membela idola kita mati-matian.

Lain halnya dengan sepak bola. Saya suka sepak bola sejak SD kelas 1. Pemain favorit saya Andriy Shevchenko, pemain AC Milan berkewarganegaraan Ukraina. Setiap main game bola di PS, saya selalu pake AC Milan karena ada jagoan saya. Iya, lah. Idola gitu, kan.

Apa yang saya tonton di PS maupun di televisi—dan ditambah membaca rekor yang ditorehkan Sheva (panggilan Shevchenko)—membuat saya berimajinasi hebat. Semua gambaran tersebut saya tuangkan ketika main bola bareng temen-temen. Saya nggak mau mundur ke area pertahanan, pokoknya saya harus jadi striker, seperti idola saya. Kalau saya diminta jadi kiper, saya ogah-ogahan. Wujud apresiasi terbesar terhadap idola saya adalah menirukan selebrasinya setelah mencetak gol. Harus mirip. Saya adalah Shevchenko dalam diri saya.

Semua gaya hidup saya jadi “ikut-ikutan” idola-idola saya. Parahnya lagi, saya nggak punya idola yang tetap. Kalo lagi suka musik, ya saya bergaya ala mereka. Kalo lagi suka sama seorang pemain bola, saya bakal fokus ke situ. Bisa dibilang, masa-masa tersebut adalah fase terombang-ambing. 

Tentunya, saya bakal belain idola kalau ada yang menghina. Awas aja kalau ada yang mengejek!

***

Suatu ketika, pada momen mengaji, hati saya terketuk. 

“Beliau,” ujar mentor saya, “bernama Sultan Muhammad Al-Fatih.”

Hah? Siapa? Namanya susah, pantes saya nggak kenal, kata saya dalam hati.

Mentor saya mendekatkan dirinya ke dalam lingkaran kami sambil menunjukkan sebuah video di laptopnya. Mentor saya bercerita penuh semangat tentang bagaimana penaklukan Konstantinopel terjadi.  Saya nggak terlalu menangkap perkataannya. “Beliau waktu itu usianya muda. Baru 21 tahun,” ujar mentor saya. “21 tahun jadi pemimpin penaklukan besar. Umur kita berapa saat ini?”

Kami menjawab bergumam, kayak kumur-kumur. Saya baru 18 tahun saat itu. 

Saya tercengang dengan cerita yang disampaikan. Kok, bisa ya, ada anak muda bisa memimpin banyak orang? Belum lagi, beliau memimpin penaklukan besar. Sangat hebat. Saya terperangah dan semakin tertarik mendengar penuturan mentor saya.

Sebuah pertanyaan iseng terbersit di kepala: saya bisa apa ya nanti di usia 21 tahun? Atau di usia sekarang, saya harus apa ya?

Sejak itulah saya bertekad, “Saya harus jadi orang yang berarti.” Jadilah hari itu saya mengenal Sultan Muhammad Al-Fatih, tokoh yang baru saya dengar selama 18 tahun.

Ibarat orang yang tengah kasmaran, mendengar cerita Al-Fatih saat itu ibarat pandangan pertama. Selanjutnya, dari pandangan dan pendengaran kemudian turun ke hati. Ya, dengan indera itu semua telah mengaktifkan sebagian kecil dalam hati saya untuk berani mengatakan, “Fix, harus tahu ceritanya lebih dalam.” Ada rasa kurang puas dalam diri.

Beberapa bulan kemudian, saya membeli sebuah buku tentang perjalanan Sultan Muhammad Al-Fatih. Ini adalah sebagai bentuk perkenalan dan pendekatan. Saya jadi semakin tahu banyak tentang kepemimpinannya, kedekatannya kepada Sang Pencipta, dan kehebatan lain yang belum pernah saya temui pada idola-idola saya sebelumnya. 

Pada pertemuan mentoring yang lain, mentor saya, seperti biasanya, memberikan sebuah pertanyaan. “Kenal Rasulullah nggak?”

“Kenal kak!” ucap saya mantap. Saat itu saya pelan-pelan mulai menyukai kisah-kisah Rasulullah dan tokoh-tokoh muslim lainnya.

“Kenalan di mana?” sang mentor bercanda. Beliau tertawa dan saya ikut tertawa. 

“Hari ini, kita yang ngakunya pengin jadi umat Nabi Muhammad, yang ngakunya pengin dapat pertolongan Nabi Muhammad, yang bilangnya cinta sama Nabi Muhammad, udah melakukan apa aja untuk membuktikan perkataan kita itu semua? Rasanya masih jauh diri kita untuk meneladani Rasulullah.”

“Kita mungkin malah lebih kenal pemain bola favorit, musisi band dengan lagu terkenal, dan artis-artis yang rupawan, dibanding seberapa tau kita tentang Rasulullah. Padahal udah jelas, nanti manusia yang bisa menolong kita di akhirat adalah Rasulullah. Itu juga kalau diakui sebagai umatnya.” 

Hari itu, saya membawa pesan yang menancap dalam hati saya. Betapa besarnya kisah-kisah para tokoh Islam dalam mengarungi kehidupan. Betapa hebatnya mereka. Namun, ada perasaan menyesal dalam diri saya beberapa hari kemudian: kenapa baru kenal sekarang ya?

Saya bersyukur pernah mendapat pesan tersebut. Kalau saja hari itu saya nggak ditakdirkan buat hadir dan mendengar sebuah nasihat, bisa jadi saya masih mati-matian ngebelain band atau pemain sepak bola favorit saya. Saya masih terombang-ambing, nggak ngerti bagaimana harusnya seorang muslim berperilaku. 

Menyelami kisah orang-orang shalih membuat saya rindu. Mungkin terdengar aneh. Definisi rindu yang sering kita dengar adalah ketika adanya rasa ingin bertemu kembali setelah pernah bertemu sebelumnya. Namun, rindu bagi saya ini berbeda. Saya merindukan semangat yang dulu pernah ada, lalu ditularkan kepada para pemuda masa kini. 

Mungkin banyak orang yang belum mengenal mereka, sama saya seperti dulu. Hari ini seorang muslim kehilangan semangatnya karena mereka kehilangan sosok tersebut. Sosok yang mengisi ruang-ruang jiwa, menjadikannya hampa, tanpa buah dari kebagusan akhlak yang telah dicontohkan para orang-orang shalih.

Berkenalanlah, lalu merindukan masa-masa itu. Bacalah kisah tentangnya, renungi, refleksikan dalam aktivitas sehari-hari sebagai bentuk pembenahan diri. 

---
Penulis: Robby Haryanto

Comments

  1. Keren banget si yaampun gak ngerti lagi

    ReplyDelete
  2. pernah berjumpa di suatu tempat, terpesona seketika lalu pergi dan tak pernah kembali heheh... sering ngt nih saya alamin..

    mari berteman yuk aaling follow..

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts