Di Bawah Langit yang Sama

Kebahagiaan adalah milik mereka yang hidup serba mewah, berkulit cerah yang terekspos begitu “wah” di laman dunia maya, atau kongko santuy menghabiskan momen bersama teman se-per-gaul-an sampai membahas topik yang tak jarang tanpa disadari berujung menjadi hal yang sia-sia. Kira-kira seperti itulah kebahagiaan yang didefinisikan di media dan sifatnya adalah fana. 

Jauh dari apa yang definisi di atas, Arisha dan keluarganya meletakkan definisi bahagia bukan semata-mata berdasarkan materi, namun pada ridha Sang Ilahi Rabbi. Arisha, seorang gadis yang beranjak dewasa, yang punya cita-cita hafal 30 Juz Al Qur’an. Cita-citanya yang mulia tertanam sejak kecil dan semakin kuat karena dukungan keluarganya. Ia menduduki bangku Sekolah Menengah Pertama di pesantren tahfidz Qur’an di pelosok Serang, Banten. 

Situasi dan kondisi keluarga Arisha terkini cukup memberi perubahan pada dirinya dan keluarganya. Ayahnya tengah terbaring lemah di kamar rumahnya dan harus rawat jalan setiap minggunya. Ibunya seorang guru ngaji TPA yang dibayar seikhlasnya. Terkait mencari nafkah untuk biaya hidup berenam (2 adiknya yang masih sekolah dan 1 masih balita), terpaksa harus diambil alih oleh ibunya selama hampir setahun belakangan ini.

Hari demi hari terlewati. Ayahnya yang telah di-PHK hampir setahun lamanya, tak sanggup kalau harus mencari kerja sebab kondisi tubuhnya yang masih lemah tak berdaya, bahkan untuk mendirikan sholat hanya mampu dengan isyarat kedua mata.  Sementara tunggakan SPP Arisha dan kedua adiknya yang masih sekolah kian bertambah. Ujian kelulusan Arisha dari Sekolah Menengah Pertama di pesantren tahfidz tinggal menghitung hari. 

“Assalamu’alaikum Bu, kata ustadzah, aku harus segera melunaskan SPP karena sebentar lagi ujian.” Ujar Arisha melalui telepon genggam dengan suara yang terputus-putus
“Wa’alaikumussalam, kak Risha tetap sabar ya, ibu di sini masih berusaha semaksimal mungkin, kamu minta terus ya sama Allah.” Balas ibunya penuh ketegaran sembari memikirkan strategi, kira-kira produk apa yang hendak dijual untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah dangan cara yang halal.

Lalu telepon terputus sebab sinyal di pesantren sangat buruk.

Di saat yang sama, adiknya, Naura yang kini duduk di bangku sekolah dasar tingkat akhir, terpilih menjadi perwakilan dari sekolahnya untuk lomba cerdas cermat. Tak pernah berkata pada ibunya kalau ia terpilih menjadi perwakilan lomba cerdas cermat, sebab ada biaya tambahan yang harus ditanggung sendiri karena acaranya berlangsung di luar kota. Berbagai alasan ia buat untuk menolak keputusan mengikuti lomba dari gurunya di sekolah, tanpa memberi isyarat bahwa sebetulnya keluarganya tak sanggup membayar biaya tambahan untuk biaya penginapan. Hingga sampailah kabar tersebut langsung dari gurunya.

*kringgg

“Assalamu’alaikum bunda Naura,” ucap guru sekolah Naura
“ Wa’alaikumussalam,” balas ibunya 
“Maaf, Bun, kalau boleh tau, kenapa yaah Naura nggak mau jadi perwakilan untuk ikut lomba cerdas cermat?” ujar gurunya
 “Yang bener, Buu? anaknya ngga pernah bilang kalau dia terpilih sebagai perwakilan 
lomba di sekolahnya.” balas ibunya kaget
“Iya Bun, Naura sudah ikut seleksi hingga tahap akhir dan terpilih jadi perwakilan lomba cerdas cermat” 
“Oiyaa Bun, lombanya 3 hari lagi dan ada biaya yang harus ditanggung sendiri untuk penginapan sebesar tiga ratus rii…” *telepon terputus* 

Mereka saling tatap pertanda paham bahwa Naura begitu menjaga aib keluarganya saat ini dan tak ingin merepotkan ibunya.

“Nak, kenapa kamu nggak bilang sama ibu? Kalau bilang dari kemarin-kemarin, kan ibu bisa usahakan,” ujar ibunya tak kuasa menahan bulir air mata yang akhirnya jatuh di pipinya
“Nggak Bu, Naura tau jualan ibu lagi sepi pembeli, keuntungan dari hasil jualan juga hanya cukup untuk kita makan aja kan? Bahkan untuk biaya ayah berobat aja masih kurang,” ujarnya
Ibunya memeluk Naura sangat erat.

Ikhtiar dan tawakal terus dilakukan demi dapur yang tetap ngebul. Berbagai cemoohan dari tetangga maupun sanak saudara silih berganti di tengah perjuangan menjemput rezeki yang halal demi sang buah hati dan keluarganya yang dicintai, tetapi mereka memilih untuk tak peduli dan menjadikan sabar serta syukur sebagai garda terdepan untuk memperkuat pijakan hingga saat ini. Untuk mengeluh pun mereka malu, karena bisa berkumpul dengan keluarga bagi mereka adalah nikmat yang luar biasa. Ketiga adik Arisha pun memahami kondisi keluarganya saat ini. Bahkan apa pun yang dibuatkan oleh ibunya, mereka lahap dengan nikmat tanpa memberi komentar apa pun

“Nak, masakan ibu enak nggak?”
“Enak kok Bu, ya kan dek Fiya?” ujar Naura sembari mengedipkan matanya ke arah adiknya yang masih berusia 7 tahun. 

Fiya mengangguk. Padahal terasa hambar sebab persediaan bumbu masakan di rumahnya hanya tersisa sangat sedikit.

“Nak, tanda Allah cinta sama keluarga kita yaa dengan adanya ujian saat ini. Memang saat ini kita jauh dari hidup mewah seperti orang-orang di luar sana, tapi selama kita masih punya Allah dan Allah ridha dengan apa pun yang kita lakukan, jangan pernah khawatir yah. Allah akan turunkan rezeki sekalipun dari arah yang tidak kita sangka-sangka, pokoknya kalian tetap bantu ibu dengan terus berdoa untuk kesembuhan ayah, juga untuk keluarga kita dan yakin kalau Allah pasti bantu,” ujar ibunya sebagai penutup makan sore.

“Siappp, Bu!” sahut keempat anaknya

Langit berwarna cerah meminta haknya untuk beristirahat, sesaat tergantikan dengan langit yang gelap nan pekat. Selepas sholat Isya, teman dekat ibunya yang tak pernah saling sapa lagi sejak lulus SMA, tiba-tiba menelpon untuk bertanya kabar sekaligus memastikan apakah uang jajan untuk Arisha sebagai hadiah kelahirannya yang pernah dijanjikan kala itu sudah masuk ke rekeningnya atau belum. Ditambah, kabar bahagia dari pesantren Arisha terkait keringanan biaya SPP Arisha karena ia berhasil menyelesaikan hafalannya 30 Juz tepat 3 hari sebelum Ujian Nasional tiba. Dan Alhamdulillah, uang jajan yang diberikan teman SMA ibunya untuk Arisha cukup untuk melunasi SPP Arisha dan sisanya Arisha serahkan untuk biaya berobat ayahnya.

Dari mereka, kita jadi perlu berkaca bahwa “Bukankah kita semua masih di bawah langit yang sama?”

Lantas, jika hingga hari ini kita masih tak sanggup menerima setiap kenyataan dalam hidup, apa yang membuat kita dan mereka berbeda?

Dirimulah yang paling tahu jawabannya~

---
Penulis : Nabilah Mardhiyah

Comments

  1. Selama kita ingat masih ada Allah, sebenarnya hati kita akan selalu tenang😊.

    ReplyDelete
  2. Tokoh Fiya ini baik banget karakternya.
    Kalau orang Jawa menyebutnya nrimo. Ngga rewel minta apa-apa maunya yang mewah.
    Jaman sekarang rada sulit menemui orang yang punya karakter begitu.

    ReplyDelete
  3. Ceritanya sangat menyentuh kang, tentang kesederhanaan sebuah keluarga dan ikhlas menjalani hidup. Alhamdulillah akhirnya happy ending.😃

    ReplyDelete
  4. baca tulisan robby yang sekarang kerasa adem dan kalem ya rob, bagus rob..

    aku suka tuh paragraf awal mengenai deskripsi kebahagiaan fana yang kerap didengung dengungkan di era jaman now...bahkan merasa tereminder supaya ga terjebak dalam budaya bergibah ria habya untuk kepuasaan yang fana

    mengenai pesan moral cerita ini kupikir bagus sekali rob, bahwa memang banyak di kehidupan masyarakat kita yang ndilalahnya berada dalam garis kehidupan yang seperti ini, namun karena semua dijalani sesuai dengan koridornya, asal ikhlas dan berusaha bahkan ditambah dengan amalan amalan baik seperti cita cita sang tokoh utama yang ingin hafal 30 juz itu juga menjadi jalan dibukanya rejeki ya, subhanalloh ^_^

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts