Cinta Selembut Kapas

Dalam sujudnya ia terisak. Menumpahkan gemuruh dalam dada yang penuh sesak. Curhat kepada-Nya memang tak pernah salah. Mengadukan segala rasa sakit berbalut muhasabah. Begitu nikmatnya bermanja dengan Dia. Sang Pencipta yang siap menampung segalanya. Tak pernah bosan mendengar munajat sang hamba. Begitu indahnya, mengadu pada-Nya. Hati mana yang rela, kehilangan waktu istimewa, ketika Allah turun ke langit dunia, menanti hamba-hamba-Nya, yang rindu untuk bermesra.

Tak terasa, basah sudah sajadah tempat keningnya bersujud. Ia mengangkat kepala dengan mata yang sembab. Melafadzkan sholawat kepada Rasulullah juga pada pendahulunya—sang khalilullah—Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam.

Assalamu'alaikum warahmatullah...
Assalamu'alaikum warahmatullah...

Ia melanjutkan kembali pertemuan malam itu dengan doa penuh harap. Harapan akan ampunan dan rahmat-Nya, untuk diri yang selama ini penuh maksiat dan jauh dari agama-Nya. Betapa indahnya, di tengah sunyinya malam, teriring tangisan syahdu memohon ampunan.

***

"Ibuuu, aku lapar."
"Iya Nak, tapi minyak gorengnya habis. Tolong belikan dulu ya Nak di warung."
"Ah, kenapa gak ibu aja sih! Aku males tau, Bu."
"Ya sudah, kamu sabar ya, Ibu mau beli minyak dulu ke warung."

Beberapa saat kemudian...

"Nak, makanannya sudah matang nih, ayo makan."
"Nasi putih sama tempe goreng lagi, Bu? Ya ampun, bosan banget aku tiap hari makannya tempe lagi, tempe lagi."
"Maaf ya, Nak. Ibu baru mampu beli itu. Kita harus berhemat untuk menabung buat biaya kuliahmu."
"Kenapa sih aku harus lahir ke dunia ini kalau hidup aku susah terus. Kenapa aku harus lahir dari rahim seorang ibu yang miskin?!"
Tesss...

Ya, cairan bening yang semenjak tadi sudah menumpuk di pelupuk mata sang ibu akhirnya keluar karena sudah tak terbendung lagi. Bagai tersambar petir rasanya, anak yang ia kandung dan ia bawa kemana-mana dalam rahimnya selama hampir sepuluh bulan mengatakan demikian. Anak yang ia suapi makan dan ia ajari berjalan, telah menggores sekali lagi luka di sudut hatinya.

Segera ia mengusap sudut matanya yang sudah banyak kerutan dengan tangannya yang juga sudah mulai melemah. Ia harus kuat, demi anak semata wayangnya. Setidaknya, tetap terlihat kuat di hadapan buah hatinya yang tersayang.

"Maafkan ibu ya, Nak. Ibu janji, Insyaallah besok kalau ada rezeki lebih, ibu akan masak makanan kesukaanmu." Ucapnya dengan senyum merekah dan mata penuh harap.
"Alah, sudahlah Bu. Gak usah janjiin sesuatu yang gak mungkin bisa Ibu lakuin! Lebih baik aku pergi saja dari sini, aku sudah muak."

Akhirnya ia pun pergi meninggalkan ibunya yang sudah renta. Ibunya yang selalu merindukan kehadirannya, anak yang selalu menjadi prioritas dalam doanya, doa akan kebaikannya, doa akan kebahagiaannya, dan doa akan keselamatannya di manapun ia berada.

"Ya Allah, lindungilah anakku. Jagalah dia, bimbinglah langkahnya agar dapat kembali ke jalan-Mu. Ya Allah, hamba menyayanginya."

***

Tak tahu arah, kini ia melangkah lunglai. Perutnya yang kosong sudah berbunyi sejak tadi, minta diisi. Menyesal juga dia, kenapa tadi tidak makan dulu sebelum memutuskan untuk pergi. Setidaknya cukup untuk mengganjal rasa lapar hingga esok hari.

BRAKK!!!

“Gimana sih kamu?! Barang dagangan saya jadi berantakan semua gara-gara kamu!"

Anak laki-laki berbaju lusuh di seberang jalan itu meminta maaf pada ibu pedagang yang menggunakan jasa angkut barang darinya. Kemudian ibu itu mengeluarkan selembar uang lima ribuan dan memberikan kepada anak itu secara kasar.

“Alhamdulillah.” Kemudian anak laki-laki itu duduk di tepi jalan sambil menghitung uang di kantong celananya. Jika dilihat dari bentuknya, sepertinya uang itu terkumpul sedikit-demi sedikit bersama keringatnya yang diperas sejak pagi.

Karena rasa simpatinya, ia pun menghampiri anak laki-laki berbaju lusuh itu, kemudian duduk di sebelahnya.
"Saya lihat sepertinya kamu sudah bekerja keras sejak pagi. Memang orang tuamu ke mana sampai menyuruh kamu melakukan ini? Untuk anak seusiamu, seharusnya kamu sedang belajar di sekolah.”

Tiba-tiba saja air muka anak laki-laki itu berubah. Matanya menjadi sendu dan kepalanya tertunduk dalam.

"Orang tuaku sudah tidak ada Kak, hiks. Sebelum mereka pergi untuk selamanya, hidupku dan adik-adikku sangat bahagia. Tapi semenjak mereka tiada, aku yang harus jadi tulang punggung keluarga. Sebenarnya aku sangat ingin melanjutkan sekolah, tapi hidup adik-adikku lebih penting untuk saat ini Kak.”

Ketika mendengar cerita anak itu, hatinya pun mulai tersentuh. Jangankan nasi putih dan tempe goreng, bahkan untuk membeli sesuap nasi pun ia harus banting tulang, memeras keringat, dan dimaki-maki orang terlebih dahulu. Pendidikannya pun harus terhenti demi menghidupi adik-adiknya. Sementara dia? Apa yang kurang untuknya selama ini?

“Kalau boleh aku mengeluh, hidup tanpa orang tua di sisi kita itu sangat tidak enak Kak. Tidak hanya raga mereka yang hilang, tapi juga tidak ada lagi cinta selembut kapas yang dihadirkan untuk kita. Bersyukurlah anak-anak di luar sana yang masih punya orang tua. Setidaknya, masih ada waktu untuk membahagiakan mereka. Tapi aku selalu ingat perkataan ibuku, kita harus jadi anak yang sholih dan sholihah supaya doa yang kita panjatkan dapat menjadi amal jariyah bagi mereka.”

Tanpa disadari, air matanya menetes. Mendengar kisah anak laki-laki itu, wajah kedua orang tuanya terlintas begitu saja, terutama ibunya yang setiap hari tak luput dari caci-makinya. Tiba-tiba ia teringat akan semua perhatian dan cinta yang sudah diberikan oleh ibunya padanya. 20 tahun, itu bukan waktu yang sebentar untuk membesarkan seorang anak penuh amarah ini. Tapi justru, anak yang sudah dibesarkan ini tak tahu terima kasih dan hanya membalas segala cintanya dengan luka.

Baru saja ia ingin menanyakan nama anak itu untuk kemudian mengucapkan terima kasih karena sudah mengingatkannya sebelum ia terlambat, tapi sosok anak laki-laki tadi sudah tidak ada di hadapannya, lenyap begitu saja, bahkan langkah kakinya pun tak terdengar. Ke mana dia pergi?

***

"ALLAHUAKBAR ALLAHUAKBAR, LAA ILAAHA ILLALLAAH”

"Nak, ayo bangun, sholat shubuh.”

Dia merasakan sentuhan tangan yang lembut mengguncang pundaknya. Didapati tangan itu, tangan yang sudah berjuang untuk merawat dan membesarkannya dengan sepenuh hati. Iya, dialah pemilik cinta selembut kapas itu, sang ibu yang selalu ikhlas membesarkannya. Dia bangga terlahir dari rahimnya, rahim seorang ibu yang kuat dan tak pernah lelah mencintainya.

Kemudian dia bangkit dari tidurnya. Ternyata setelah tahajud semalam dia ketiduran di atas sajadahnya. Matanya pun masih terlihat sembab setelah semalaman bermuhasabah atas segala khilaf dan dosa, terutama pada Dia—Pemilik Segalanya, juga kepada dia—ibunya—pemilik cinta selembut kapas untuknya.

"Siap, Bu. Terima kasih sudah membangunkanku. Aku siap-siap ke masjid dulu ya."
"Cuci muka dulu, Nak."
"Siap komandan!”
Tak disangka, ternyata ia malah kembali dan berdiri di hadapan ibunya.
“Kok balik lagi?” Ibunya bertanya keheranan.
“Aku cuma mau bilang kalau aku sayang banget sama Ibu. Aku bangga punya orang tua yang hebat kayak Ibu. Aku cinta Ibu!” Kemudian dia memeluk erat ibunya.
“Kamu ini ada-ada saja. Sudah sana, nanti telat jamaahnya, lho.” Ujar si ibu sambil menjewer lemah kuping buah hatinya.

Kemudian dia pun bergegas pergi ke masjid untuk menunaikan sholat subuh berjamaah. Ibunya tersenyum menatap punggung anaknya dengan air mata—tapi kali ini bukan air mata penuh luka, melainkan air mata bahagia. Hati ibu mana yang tak bahagia, melihat anaknya mencintainya dan juga mencintai-Nya.

"Kini aku sadar, ternyata yang membuatku selalu merasa kurang adalah rasa syukur yang tak pernah ada dalam hatiku. Kini aku sadar akan pentingnya kehadiran ibu dalam hidupku, dan aku bersyukur memilikinya. Aku sayang Ibu."

---
Penulis: Desi Ramadanniati

Comments

  1. Selamat pagi, apa kabar? Saya orang Brasil dan saya sedang mencari pengikut baru untuk blog saya. Aku juga bisa mengikutimu. https://viagenspelobrasilerio.blogspot.com/?m=1

    Jika Anda mengikuti saya, kirim tautan ke blog saya dan saya akan mengikuti Anda kembali.

    ReplyDelete
  2. duh, aku sebagai anak laki-laki jadi merasa bersalah sama ibu. suka bilang 'masakannya gitu gitu terus .." .. Aku berdosa Tuhan. Maafkan aku.. Terima kasih sudah menuliskan ini.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts