Takdir Semesta

Malam itu mungkin bintang ikut berdoa
Malam itu boleh jadi bulan pun turut mengaminkan
Bersimpuh di tengah ribuan bintang berkilau,
mengadu riuh bercampur keluh.
Mengeluh kepada skenario hidup.
Menyesal atas garis takdir semesta.
Pahit, getir, lika-liku penuh duka. 
Ah Mengapa?

[         ]
"Bagaimana Ca, lolos nggak?" ujar Rinai sambil menepuk bahu sahabatnya.

Tidak ada respons. Hanya ada tatapan kosong di matanya.

Lisannya bungkam nan getir.

Rinai memeluk sahabatnya dengan erat sekali. Pelukannya meruntuhkan pertahanan emosional yang dipaksa untuk terlihat baik-baik saja.

"Ca, tak mengapa mungkin belum sekarang saatnya," bisik Rinai lembut sekali.

Fica menoleh tersenyum namun bendungan di matanya tidak lagi tertahankan, ia menangis dalam pelukan sahabatnya.

Gagal, lagi dan lagi.

Satu kata yang merasuki dan merombak ambik seluruh pikiran dan jiwanya.
"Sebelas kali, Nai, sebelas kali huhuhuu." Kali ini tangisannnya lebih deras.

Tidak banyak yang bisa Rinai ucapkan untuk menenangkan sahabatnya, hatinya pun ikut sedih dan resah dengan keadaan sahabatnya.

[       ]
Fica akhirnya memutuskan untuk menunda mimpinya, mimpi untuk melanjutkan studi ke universitas ternama di Inggris.

Fica telah diterima di universitas tersebut, akan tetapi beasiswa yang diajukan tidak kunjung dia dapati.

[       ]
Rinai sudah berdiri di sebelah Fica yang sibuk merapihkan berkas-berkas.

"Ca, mau mengirim lamaran kerja ke mana aja?"

"Eh, Astagfirulah.” Fica terkejut. “Nai salam dulu, Nai. Kaget betul aku.” Fica memperlihatkan berkasnya. “Ini. Diminta Bibi Qiya lamar ke BUMN, ke Pertamina, dan Bulog."

Tidak terlihat sedikit pun wajah sedih atau kecewa setelah kegagalan yang dialaminya, Fica tumbuh menjadi gadis dewasa yang tangguh. Mungkin ditinggalkan kedua orang tua mendewasakan dirinya lebih cepat.

"Bismillah yaa, doain ya ini plan terakhir aku. Tidak mau lagi merepotkan bibi teruss hihihi." Senyum manis Fica memperlihatkan gigi gingsul di sebelah kanan.

Rinai hanya bergumam, lalu tersenyum lucu khas gigi kelincinya. "Nggak usah diminta kali, Caa."
"Ayok ah buru ke kantor pos, terus kita jajan dimsum deh,” seru Fica. “Nanti aku teraktir kamu, Nai."

Rinai dan Fica melangkah keluar rumah dan pergi menuju kantor pos bersama dengan mengendarai sepeda motor milik bibi.

[      ]
1 tahun kemudian
"Caa, kamu serius mau renovasi rumah tua ini?" tanya Bibi Qiya

"Yaa Bii, mungkin hanya itu yang bisa Fica persembahkan untuk bibi yg sudah merawat Fica."

"Kamu bisa kumpulin uangnya buat S2 di Inggris, Caa." Bibi Qiya masih bersikeras menolak

"Fica udah punya tabungan yang berbeda untuk itu Bi, Fica mau merasakan tinggal di rumah yang bagus sama Bibi dan Cang Oki."

Tersimpul senyum di wajah Bibi Qiya. Bibi Qiya langsung memeluk Fica menadakan setuju dengan keinginan Fica.

[     ]
2 tahun kemudian
Tuuttt tuutt. Nada dering menyambungkan

"RINAI!” seru Fica di telepon. “Aku Lulus di University of Notthingham jurusan Food Science and Technology. Itu jurusan yang aku idam-idamkan." Fica teriak gembira

"AAAAAA BARAKALLAH FICA, susah sekali loh masuk ke sana,” kata Rinai nggak kalah gembira. “Ah keren sekali kamu, kabari aku ketika kamu mau berangkat, nanti aku jemput di bandara." Suara Rinai disautkan dengan intonasi berteriak juga.

Rinai lebih dulu melanjutkan S2 di Inggris dengan minat yang sesuai keinginannya dan mendapatkan beasiswa setelah 1 tahun kuliah di sana.

[     ]
Dua tahun terakhir, Fica bertekad untuk tetap terus belajar dan berlatih, terlebih dia bisa lebih banyak pengalaman karena bekerja sesuai passion-nya. Setiap upah gaji yang diterima, 55 persen di tabung, 15 persen diinfakkan, sisanya untuk membantu kebutuhan sehari-hari hidup bersama Bibi Qiya dan Cang Oki yang sudah tidak bisa bekerja yang terlalu berat.

"Bi, Cang, Fica pamit ya. Terima kasih sudah merawat Fica." Fica memeluk dua orang yang menggantikan peran ayah dan ibunya ini.

"Ca, inget, jangan lupa makan yaak, jangan sampe maagnya kambuh yaa Neng." Mata Bibi Qiya sudah berkaca kaca.

"Nanti tetep bisa liat Fica kok bii, Fica vidcall yaa kalo sudah sampai."

"Terima kasih telah mau dirawat oleh kami Ca. Cang bangga sama kamu," ucap Cang Oki.

"Yaaah ncang kesepian nih ga bisa usilin aku lagi. Hahahahaha." Fica berusaha mencaikan suasana.

Tidak lama tanda panggilan untuk boarding pass terdengar.

[    ]
"Pertama kalinya aku naik pesawat, pertama kalinya juga aku pergi meninggalkan Bibi Qiya, Cang Oki, dan meninggalkan Indonesia," batinnya berbicara.

Fica mendapatkan kursi persis di samping sayap pesawat, sehingga ada jendela untuk melihat pemandangan di atas awan. Tempat favorit setiap perjalanan Fica ialah di sebelah jendela kendaraan.
Semburat rona jingga mulai terlihat di ufuk timur, lamban laun mulai menerangi sekitarnya, begitu cantik mempersona.

"Alangkah indah rencana-Nya"

Fica mulai memejamkan matanya. Bak sebuah kaset yang dimutar memorinya, kini mulai menayangkan setiap kisah pilu dan pahit kehidupnya.

Ketika Bunda dan Ayah yang pergi bersamaan sambil memeluk erat dirinya karena sebuah kecelakaan mobil, saat itu dirinya masih terlalu kecil, hanya sedikit sekali ingat yang membekas di memorinya.

Tinggal dan hidup bersama Bibi Qiya dan Cang Oki yang semua serba sederhana.
11 kali gagal mendaftar beasiswa yang kala itu hatinya remuk tidak kepalang.
Matanya masih terpejam dan kini pipinya mulai basah ketika mengingat kisah pilu di hidupnya.

Tetapi

Ia Sang Pemilik garis kehidupan begitu penyayang. Kecelakaan yang menimpa keluarga kecil tersebut,  Fica seorang diri yang diselamatkan oleh-Nya, lalu mengirimkan hamba-Nya yang mau dengan senang hati merawat Fica.
Di saat Fica gagal dalam mendaftar beasiswa, Dia ganti dengan mendapatkan pekerjaan yang luar biasa sehingga Fica bisa sedikit membalas budi untuk menyenangkan hati Bibi Qiya dan Cang Oki. Dia memang benar Pemilik lukisan hidup, memberikan Fica kesempatan yang dahulu sudah Fica ikhlaskan, bisa melanjutkan sekolah di Inggris di jurusan dan universitas yang Fica idam-idamkan.

Tangisnya semakin deras, kini senyumnya mulai menghiasi wajahnya, mulai timbul perasaan yang tidak bisa Fica pahami pada awalnya.

[    ]
Ah mengapa?
Kau, Dzat pemilik garis hidup setiap hamba.
Aku yang terlalu buta
Aku yang terlalu bodoh
hingga kasih saying-Mu hitam tidak terlihat.
Kini jelas sudah tabir yang selama ini menutupi.
Setiap luka dan tangis yang tercipta
akan ada tawa dan senyum yang terukir
Betapa beruntung
Betapa bahagia
Aku bersyukur atas takdir semesta yang begitu indah di goreskan hanya untuk dirinya.

---
Penulis: Farah Fadhilah

Comments

  1. Alhamdulillah fica akhirnya bisa kesampaian lanjut kuliah S2 di Inggris ya. Kasihan juga dari kecil sudah kehilangan kedua orang tuanya.😓

    Tapi Alhamdulillah Fica tetap semangat menjalani kehidupan.😊

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts